Jumat, 16 Mei 2014

Dewan Perwakilan: Legislative heavy ?

Oleh : Ni Ageng Djohar

Sehari setelah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Konstitusi Indonesia sebagai suatu “revolusi grondwet” telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Pada tahun 1999 dilakukanlah amandemen untuk pertama kalinya pada UUD 1945. Amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945 ternyata memberi pengaruh terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh presiden. Sistem pemerintahan pasca amandemen didesain sebagai penegasan sistem presidensial untuk membatasi kekuasaan Presiden dengan masa jabatan yang pasti (fixed term) dan mewujudkan sistem check and balances  antara lembaga Negara. Namun penerapan sistem checks and balances oleh DPR terhadap Presiden , terkesan “membelenggu Presiden.  Maka terjadi pergeseran kekuasaan yang substantif terhadap kekuasaan legislatif, yang pada awalnya terletak pada presiden kemudian berpindah ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelum amandemen dilakukan, presiden memiliki kekuasaan yang begitu besar. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya pasal-pasal yang mengatur tentang kewenangan presiden, sehingga banyak yang beranggapan bahwa telah terjadi executif heavy. Namun setelah terjadinya amandemen, keadaan menjadi berubah. Kekuasaan legislatif lebih mendominasi dari pada kekuasaan eksekutif. Muncul anggapan UUD 1945 kini menganut legislatif heavy.
Berkaitan dengan hal tersebut dapat kita lihat dari beberapa pasal, diantaranya pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang” yang sebelum perubahan berbunyi “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” dan pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-undang kepaada Dewan Perwakilan Rakyat.” yang sebelum dilakukan perubahan berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Kuatnya kedudukan yang dimiliki legislatif  juga dapat kita lihat dari pasal 21 UUD 1945 yang berbunyi “setiap anggota DPR berhak pula mengajukan usul rancangan undang-undang”. Seperti halnya presiden yang berhak mengajukan rancangan undang-undang, para anggota DPR-pun secara sendiri-sendiri dapat berinisiatif untuk mengajukan rancangan undang-undang asalkan memenuhi syarat, yaitu jumlah anggota DPR yang tampil sendiri-sendiri itu mencukupi jumlah persyaratan minimal yang ditentukan oleh undang-undang. Bahkan lebih dipertegas lagi dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 ditentukan pula, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Artinya, kekuasaan legislasi, kekuasaan penentuan anggaran (budgeting), dan kekuasaan pengawasan (control), berada di Dewan Perwakilan Rakyat sebagai badan legislatif.
Selain pasal 21, Pasal 7C juga mendukung kuatnya posisi legislatif. Pasal ini berbunyi “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.” Sebaliknya, dalam Pasal 7A ditentukan, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Bahkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 hasil Perubahan Pertama tahun 1999, bahkan diatur pula hal-hal lain yang bersifat menyebabkan posisi DPR menjadi lebih kuat dibandingkan dengan sebelumnya terlihat dari ‘campur tangan’ DPR terhadap hak prerogratif Presiden. Pasal 13 ayat (2) menentukan, “Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR,” dan ayat (3)-nya menentukan, “Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.” Sedangkan Pasal 14 ayat (2) menentukan, “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.” , padahal sebelumnya bunyi Pasal 13, adalah ayat (1) “Presiden mengangkat Duta dan Konsul”. Lalu pada ayat (2) “Presiden menerima Duta negara lain”. Serta bunyi pasal 14 “Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi”. Kedua pasal tersebut awalnya menyiratkan Hak Presiden secara sendiri tanpa campur tangan orang lain, namun saat perubahan Hak ini tercampuri DPR.
Untuk lebih lengkapnya uraian mengenai kewenangan DPR itu, dapat dikutipkan di sini ketentuan UUD 1945 Pasal 20 dan Pasal 20A, yang masing-masing berisi lima ayat, dan empat ayat. Pasal 20 menentukan bahwa:
(1)   DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2)   Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3)   Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
(4)   Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undangundang.
(5)   Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang- undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 20A berbunyi:
(1)   DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan
(2)   Dalam melaksanakanfungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, danhak menyatakan pendapat.
(3)   Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang- Undang Dasar ini, setiap angota  DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
(4)   Ketentuan lebih lanjut tentang DPR dan hak anggota DPR diatur dalam undang-undang.
Sedangkan setelah terjadi amandemen undang-undang kewenangan presiden menjadi dipersempit, dapat dilihat dari pasal-pasal kewenangan presiden yang di amandemen dinyatakan diantaranya adalah pasal :
Pasal 11 yang berbunyi :
(1)   Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
(2)   Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang lluas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan keuangan negara, dan/atau yang mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat/
(3)   Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

Pasal 14 berbunyi :
(1)   Presiden memberi grasi dan rehabilitas dengan memperhatikan pertimbangan MA.
(2)   Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

Selain kewenangan DPR , hadirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang memiliki fungsi legislasi dan fungsi pengawasan dengan berbagai kewenangannya pada pasal 22D UUD 1945 sebagai lembaga legislatif baru dalam UUD 1945 amandemen ini, memperlihatkan sifat legislatif UUD 1945 pada masa ini. Meskipun dalam kewenangannya DPD tidak langsung bersinggungan dengan lembaga eksekutif dalam hal ini Presiden seperti kewenangan DPR.
Berdasarkan hal tersebut, jelas terlihat Undang Undang Dasar 1945 bersifat Legislatif Heavy. Dengan sistem pemerintahan yang seperti itu, pergeseran kekuasaan pemerintahan negara yang semula terlalu besar dan cenderung otoriter di tangan Presiden (exsecutive heavy) terkesan ‘kebablasan’ karena kekuasaan terlalu besar ditangan DPR. Namun, pergeseran ini merupakan sistem untuk membatasi kekuasaan Presiden yang terdahulu terkesan otoriter dan sangat kuat, sehingga kewenangan baru DPR hadir demi checks and balances antara lembaga Negara. Akan tetapi, menurut studi yang dilakukan oleh Margarito Khadimis “gejala apa yang disebut sebagai executive heavy itu sendiri hanya dampak psikologis yang ditimbulkan oleh pergeseran bandul perubahan dari keadaan sebelumnya”. Yang maksudnya ,antara Presiden dan DPR kini memiliki posisi sama sama kuat yang tidak dapat dijatuhkan oleh pergolakan politik biasa. Dengan demikian, gejala ini dianggap wajar dan tidak perlu dikhawatirkan, karena pergeseran ini pasti akan terus terjadi huingga menemukan titik keseimbangan (equilibrium).





Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly.2006.  Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta : Sekretariat Jenderal dam Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Fatwa, A.M. 2009. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta :PT. Kompas Madia Nusantara.
Huda, Ni’matul . 2008. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang. Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada..

1 komentar: