Oleh : Ni Ageng Djohar
Sehari setelah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Konstitusi Indonesia sebagai suatu “revolusi grondwet” telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Sehari setelah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Konstitusi Indonesia sebagai suatu “revolusi grondwet” telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Pada tahun 1999 dilakukanlah amandemen
untuk pertama kalinya pada UUD 1945. Amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945
ternyata memberi pengaruh terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh presiden. Sistem pemerintahan pasca amandemen didesain sebagai
penegasan sistem presidensial untuk membatasi kekuasaan Presiden dengan masa
jabatan yang pasti (fixed term) dan
mewujudkan sistem check and balances antara lembaga Negara.
Namun penerapan sistem checks and
balances oleh DPR terhadap Presiden , terkesan “membelenggu Presiden. Maka
terjadi pergeseran kekuasaan yang
substantif terhadap kekuasaan legislatif, yang pada awalnya terletak pada
presiden kemudian berpindah ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelum
amandemen dilakukan, presiden memiliki kekuasaan yang begitu besar. Hal ini
dapat kita lihat dari banyaknya pasal-pasal yang mengatur tentang kewenangan
presiden, sehingga banyak yang beranggapan bahwa telah terjadi executif heavy. Namun setelah terjadinya
amandemen, keadaan menjadi berubah. Kekuasaan legislatif lebih mendominasi dari
pada kekuasaan eksekutif. Muncul anggapan UUD 1945 kini menganut legislatif heavy.
Berkaitan dengan hal tersebut dapat kita lihat dari beberapa pasal, diantaranya pasal 20
ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang” yang sebelum
perubahan berbunyi “Tiap-tiap
undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” dan pasal 5
ayat (1) yang berbunyi “Presiden berhak
mengajukan Rancangan Undang-undang kepaada Dewan Perwakilan Rakyat.” yang
sebelum dilakukan perubahan berbunyi “Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.”
Kuatnya kedudukan yang dimiliki legislatif juga dapat kita lihat dari pasal 21 UUD 1945
yang berbunyi “setiap anggota DPR berhak
pula mengajukan usul rancangan undang-undang”. Seperti halnya presiden yang
berhak mengajukan rancangan undang-undang, para anggota DPR-pun secara
sendiri-sendiri dapat berinisiatif untuk mengajukan rancangan undang-undang
asalkan memenuhi syarat, yaitu jumlah anggota DPR yang tampil sendiri-sendiri
itu mencukupi jumlah persyaratan minimal yang ditentukan oleh undang-undang. Bahkan
lebih dipertegas lagi dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 ditentukan pula, “Dewan
Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan”. Artinya, kekuasaan legislasi, kekuasaan penentuan anggaran (budgeting),
dan kekuasaan pengawasan (control), berada di Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai badan legislatif.
Selain pasal 21, Pasal 7C juga
mendukung kuatnya posisi legislatif. Pasal ini berbunyi “Presiden tidak
dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.” Sebaliknya,
dalam Pasal 7A ditentukan, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Bahkan dalam Pasal 13
dan Pasal 14 hasil Perubahan Pertama tahun 1999, bahkan diatur pula hal-hal
lain yang bersifat menyebabkan posisi DPR menjadi lebih kuat dibandingkan
dengan sebelumnya terlihat
dari ‘campur tangan’ DPR terhadap hak prerogratif Presiden. Pasal 13 ayat (2) menentukan, “Dalam hal mengangkat
duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR,” dan ayat (3)-nya
menentukan, “Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan
memperhatikan pertimbangan DPR.” Sedangkan
Pasal 14 ayat (2) menentukan, “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan
memperhatikan pertimbangan DPR.” , padahal sebelumnya bunyi Pasal 13, adalah
ayat (1) “Presiden mengangkat Duta dan Konsul”. Lalu pada ayat (2)
“Presiden menerima Duta negara lain”. Serta bunyi pasal 14 “Presiden
memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi”. Kedua pasal tersebut
awalnya menyiratkan Hak Presiden secara sendiri tanpa campur tangan orang lain,
namun saat perubahan Hak ini tercampuri DPR.
Untuk lebih lengkapnya uraian mengenai
kewenangan DPR itu, dapat dikutipkan di sini ketentuan UUD 1945 Pasal 20 dan
Pasal 20A, yang masing-masing berisi lima ayat, dan empat ayat. Pasal 20
menentukan bahwa:
(1)
DPR memegang
kekuasaan membentuk undang-undang.
(2)
Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.
(3)
Jika rancangan
undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan itu tidak boleh
diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
(4)
Presiden
mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undangundang.
(5)
Dalam hal
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan
oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang
tersebut disetujui, rancangan undang- undang tersebut sah menjadi undang-undang
dan wajib diundangkan.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 20A
berbunyi:
(1)
DPR memiliki
fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan
(2)
Dalam
melaksanakanfungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, danhak
menyatakan pendapat.
(3)
Selain hak yang
diatur dalam pasal-pasal lain Undang- Undang Dasar ini, setiap angota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
(4)
Ketentuan lebih
lanjut tentang DPR dan hak anggota DPR diatur dalam undang-undang.
Sedangkan setelah terjadi amandemen
undang-undang kewenangan presiden menjadi dipersempit, dapat dilihat dari
pasal-pasal kewenangan presiden yang di amandemen dinyatakan diantaranya adalah
pasal :
Pasal 11 yang berbunyi :
(1)
Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
(2)
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang lluas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan keuangan negara, dan/atau yang mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat/
(3)
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional
diatur dengan undang-undang.
Pasal 14 berbunyi :
(1)
Presiden memberi grasi dan rehabilitas dengan memperhatikan
pertimbangan MA.
(2)
Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan DPR.
Selain kewenangan DPR , hadirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang
memiliki fungsi legislasi dan fungsi pengawasan dengan berbagai kewenangannya
pada pasal 22D UUD 1945 sebagai lembaga legislatif baru dalam UUD 1945 amandemen
ini, memperlihatkan sifat legislatif UUD 1945 pada masa ini. Meskipun dalam
kewenangannya DPD tidak langsung bersinggungan dengan lembaga eksekutif dalam
hal ini Presiden seperti kewenangan DPR.
Berdasarkan hal tersebut, jelas terlihat Undang
Undang Dasar 1945 bersifat Legislatif Heavy. Dengan sistem pemerintahan
yang seperti itu, pergeseran kekuasaan pemerintahan negara yang semula terlalu
besar dan cenderung otoriter di tangan Presiden (exsecutive heavy) terkesan ‘kebablasan’
karena kekuasaan terlalu besar ditangan DPR.
Namun, pergeseran ini merupakan sistem untuk membatasi kekuasaan Presiden yang
terdahulu terkesan otoriter dan sangat kuat, sehingga kewenangan baru DPR hadir
demi checks and balances antara lembaga Negara. Akan tetapi, menurut studi yang dilakukan oleh Margarito Khadimis “gejala
apa yang disebut sebagai executive heavy itu sendiri hanya dampak psikologis
yang ditimbulkan oleh pergeseran bandul perubahan dari keadaan sebelumnya”.
Yang maksudnya ,antara Presiden dan DPR kini memiliki posisi sama sama kuat
yang tidak dapat dijatuhkan oleh pergolakan politik biasa. Dengan demikian,
gejala ini dianggap wajar dan tidak perlu dikhawatirkan, karena pergeseran ini
pasti akan terus terjadi huingga menemukan titik keseimbangan (equilibrium).
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly.2006. Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi. Jakarta : Sekretariat Jenderal dam Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
RI.
Fatwa, A.M. 2009. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta :PT. Kompas Madia Nusantara.
Huda, Ni’matul . 2008. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang. Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada..
lalu apa arti dari legislatif heavy itu sendiri?
BalasHapus