Oleh : Ni Ageng Djohar
Pada hakikatnya, setiap putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap (BHT) dapat dijalankan. Pengacualiannya ada,
yaitu apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan
terlebih dahulu sesuai dengan pasal 180 HIR. Putusan yang dijalankan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir,
yaitu yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu
perbuatan. Putusan deklaratoir dan constitutif tidaklah memerlukan
sarana-sarana pemaksa. Karena tidak dimuat adanya hak atas suatu prestasi ,
maka terjadinya akibat hukum tidak tergantung pada bantuan atau kesediaan dari
pihak yang dikalahkan, maka oleh karena itu tidak diperlukan sarana-sarana
pemaksa untuk menjalankannya.
Putusan berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewisjsde) yang dapat dieksekusi kecuali putusan serta merta.
Putusan BHT yaitu :
1.
Putusan perstek
yang tidak diajukan verzet
2.
Putusan PN yang
tidak diajukan banding
3.
Putusan PT yang
tidak diajukan kasasi
4.
Putusan kasasi
5.
Putusan
perdamaian.
Cara melaksanakan putusan hakim diatur
dalam pasal 195-pasal 208 HIR, dimana pasal 209- pasal 222 HIR merupakan aturan
yang mengatur tentang cara pelaksanaan putusan, khususnya mengenai sandera.
Akan tetapi, pasal-pasal tersebut didasarkan atas SEMA No. 2/1964 tanggal 22
Januari 1964 jo. SEMA No. 04/1975 tanggal 1 Desember 1975, dibekukan, artinya
tidak diberlakukan dalam praktek. Mahakamah agung berpendapat bahwa sandera
bertentangan dengan sila kemanusiaan dalam Pancasila. Maka sandera tidak dapat
diberlakukan.
Putusan dilaksanakan atas pimpinan
Ketuan Pengadilan Negeri, yang mula-mula memutus perkara tersebut. Pelaksanaan
dimulai dengan menegur pihak yang kalah dalam 8 hari untuk melaksanakan putusan
tersebut secara sukarela. Jika pihak ini tidak mau, maka barulah pelaksanaan
sesungguhnya dimulai.
Ada tiga macam eksekusi yang dikenal
pleh Hukum Acara Perdata, yaitu:
1.
Eksekusi
sebagaimana yang diatur dalam pasal 196 HIR dan seterusnya dimana seseorang
dihukum untuk membayar sejumlah uang.
2.
Eksekusi
sebagaimana yang diatur dalam pasal 225 HIR dimana seseorang dihukum untuk
melakukan suatu perbuatan.
3.
Eksekusi Riil,
yang dalam praktek banyak dilakukan akan tetapi tidak diatur dalam HIR.
Berikut akan dijelaskan satu persatu dari
macam-macam eksekusi tersebut.
(1) Eksekusi yang diatur dalam pasal 196 HIR dan
seterusnya.
Apabila seseorang
enggan untuk dengan sukarela memenuhi isi putusan dimana ia dihukum untuk
membayar sejumlah uang, maka jika sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan
sita jaminan, maka sita jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga, secara
otomatis menjadi sita eksekutorial. Selanjutnya eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang sitaan tersebut
sehingga mencukupi jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan Hakim dan
ditambah dengan biaya pada pelaksanaan putusan tersebut.
Jika belum pernah
dilakukan sita jaminan , maka eksekusi dimulai dengan mensita barang-barang
bergerak , jika belum cukup membayar semua uang yang harus dibayarkan menurut
putusan Hakim, dilakukan penyitaan pada barang-barang tidak bergerak milik
pihak yang kalah. Penyotaan tersebut dinamakan sita eksekutorial.
Dalam Hukum Acara
Perdata terdapat dua macam sita eksekutorial, yaitu :
a.
Sita
eksekutorial sebagai kelanjutan dari sita jaminan;
b.
Sita
eksekutorial yang dilakukan sehubungan dengan eksekusi karena sebelumnya tidak
ada sita jaminan.
Mengenai cara melakukan penjualan
barang-barang yang disita, diatur dalam pasal 200 HIR, yang pada pokoknya
berisi:
1)
Penjualan
dilakukan dengan pertolongan Kantor Lelang;
2)
Penyimpangan
terhadap azas tersebut jika pelelangan dilakukan untuk membayar sejumlah uang
yang kurang dari Rp. 300,- boleh oleh juru sita saja;
3)
Urutan-urutan
barang yang akan dilelang ditunjuk oleh yang terkena lelang jika ia mau;
4)
Jika jumlah yang
harus dibayar menurut putusan dan biaya pelaksanaan putusan telah tercapai,
maka pelelangan segera dihentikan. Barang-barang selebihnya segera dikembalikan
kepada yang terkena lelang;
5)
Sebelum
pelelangan, terlebih dahulu harus diumumkan menurut kebiasaan setempat dan baru
dapat dilakukan 8 hari setelah pensitaan;
6)
Jika yang
dilelang itu menyangkut barang tidak bergerak, maka harus diumumkan dalam dua
kali dengan selang waktu 15 hari;
7)
Jika yang
dilelang itu menyangkut barang tidak bergerak yang berharga lebih dari Rp.
1.000,- harus diumumkan satu kali dalam surat kabar yang terbit di kota itu
paling lambat 14 hari sebelum pelelangan;
8)
Jika harga
lelang telah dibayar, kepada pembeli diberikan kuitansi tanda lunas dan selain
itu pula hak atas barang tidak bergerak tersebut beralih kepada pembeli;
9)
Orang yang
terkena lelang dan keluarganya serta sanak saudaranya, harus menyerahkan barang
tidak bergerak itu secara kosong kepada pembeli. Apabila ia enggan melakukan
hal gtersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat perintah
pengosongan dan pengosongan mana dilakukan dengan paksa.
Ketentuan pasal
201 – pasal 205 HIR mengatur tentang cara bagaimana pelaksanaan harus dilakukan
apabila dalam waktu yang bersamaan diajukan yang untuk melaksanakan dua atau
lebih terhadap orang yang sama. Dalam artian, putusanya memang harus
dilaksanakan. Ini berarti bukan suatu keharusan menunggu satu pemeriksaan agar
pelaksanaannya dilakukan bersama. Sehubungan dengan hal itu diperhatikan
ketentuan pasal 224 HIR yang berbunyi sebagai berikut:
Surat grose daripada hipotik dan surat utang, yang
dibuat di hadapan Notaris di Indonesia dan yang kepalanya memakai “Atas nama
Keadilan” berkekuatan sama dengan putusan Hakim. Jika surat yang demikian itu
tidak ditepati dengan jalan damai, maka perihal menjalankannya dilakukan dengan
perintah dari pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, yang dalam pegangannya orang
yang berhutang itu diam atau tingga; atau memilih kedudukannya, yaitu secara
yang dinyatakan pada pasal di atas ini dalam bagian ini, akan tetapi dengan
pengertian, bahwa paksa badan itu hanya boleh dilakukan , jika sudah diizinkan
dengan putusan itu harus dijalankan sama sekali atau sebagiannya di luar daerah
hukum Pengadilan Negeri, yang ketuanya menyuruh melakukan itu, maka diturutilah
peraturan pada pasal 195 ayat kedua dan berikutnya.
Dari ketentuan
tersebut, dikatakan bahwa surat grosse hipotik dan surat utang yang dibuat di
hadapan notaris di Indonesia berkekuatan seperti putusan hakim yang sudah
mempunyai kekuatan pasti , dalam kata lain dapat langsung dimohonkan
pelaksananya. Grosse adalah salinan pertama dari akta otentik, salinan pertama
ini diberikan kepada debitur (aslinya ada pada kreditur). Grosse akta pengakuan
utang harus fixed losayang dapat
dieksekusi.
Dengan itu,
dapat dilaksanakan putusan bersamaan dengan pelaksanaan putusan dengan
surat-surat tersebut diatas.
Sehubungan
dengan sisa hutang yang belum dibayar tersebut diatas, akan dikutip ketentuan
yang mengatur perihal kedaluarsa utang-piutang dalam Stbl. No. 41, yang
terdapat dalam Kitab Engelbrecht di bagian belakang BW. Bahwa dari ketentuan
tersebut, diketahui bahwa utang dalam jangka waktu 30 tahun masih dapat
ditagih.
(2) Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR
Pasal 225 HIR mengatur
pelaksaan putusan Hakim dimana seorang hakim untuk melakukan sesuatu perbuatan,
misalnya memperbaiki pagar, saluran air, atau barang-barang yang telah dirusak
olehnya. Perbuatan seperti itu tidak dapat dilaksanakan dengan paksa.
Menurut pasal 225 HIR
yang dapat dilakukan adalah menilai perbuatan yang harus dilakukan oleh
tergugat dalam jumlah uang. Yang menilai besarnya penggantian perbuatan ini adalah Ketua Pengadilan Negeri
yang bersangkutan. Maka putusan hakim yang terdahulu dianggap tidak berlaku
lagi (ditarik kembali), dan diganti dengan putusan lain. perubahan putusan ini
merupakan kebijakan Ketua Pengadilan Negeri yang sedang memimpin eksekusi,
bukan dalam sidang terbuka.
Sementara itu agar
keputusan tersebut terlaksana dengan baik , pihak yang kalah dapat dikenakan
uang paksa atau dwangsom, yang
memaksanya agar melaksanakan putusan.
(3) Eksekusi Riil
Eksekusi ini tidak
diatur dalam HIR, namun pasal 200 (1) menyebutkan mengenai eksekusi Riil. Pasal
200 (1) HIR itu berbunyi “Jika perlu ada pertolongan Polisi barang tetap itu
ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya, serta sanak
saudaranya”. Sehingga, terdapat petunjuk bagaimana melaksanakan eksekusi riil.
Pengosongan dilakukan oleh jurusita , atau anggota Polisi Militer, dalam hal
apabila yang dihukum untuk mengosongkan rumah tersebut adalah anggota militer
(TNI).
Eksekusi ini lazim
dilakukan karena dibutuhkan, meskipun tidak diatur dalam HIR. Dalam pasal 103
Rv, yang mengatur perihal eksekusi riil, berbunyi “ Jika putusan Hakim yang
memerintahkan pengosongan suatu barang yang tidak bergerak, tidak dipenuhioleh
orang yang dihukum, maka Ketua akan memerintahkan dengan surat kepada seseorang
jurusita supaya dengan bantuannya alat kekuasaan Negara , barang itu
dikosongkan oleh orang yang dihukum serta keluarganya dan segala barang
kepunyaanya.”
Yang diwajibkan
mengosongkan disini adalah pihak yang kalah dan keluarganya. Apabila rumah
tersebut sedang disewakan, maka tidak dapat dikosongkan. Karena ada ketentuan
dalam huku perdata “Jual-beli tidak menghapuskan sewa menyewa”. Namun, apabila rumah tersebut disewakan setelah berita acara penyitaan
diumumkan, maka pemilik rumah telah melanggar ketentuan dan perjanjian sewa
tersebut batal demi hukum.
Eksekusi riil merupakan
pelaksaan prestasi yang dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara
langsung. Dengan eksekusi riil maka yang berhaklah yang menerima prestasi. Pada
umumnya eksekusi riil murni tidak mungkin. Debitur tidak
dapat dipaksa secara
langsung untuk memenuhi prestasi secara pribadi (nemo praecise ad factum cogi postest).
Disamping ketiga jenis eksekusi tersebut
dikenal “parate executie” atau
eksekusi langsung. Parate executie terjadi apabila seorang kreditur menjual
barang-barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial (ps.
1155, 1175 ayat 2 BW).
Putusan yang dapat dilaksanakan atau
dieksekusi terbatas pada salinan putusan yang dijatuhkan di Indonesia (pasal.
435 Rv, 224 HIR, 258 Rbg.) , karena putusan hakim asing pada asasnya tidak
dapat dijalankan di Indonesia (ps. 436 Rv.).
Putusan arbitrase yang dapat dijalankan
adalah putusan arbitrase yang lembar asli atau salinan otentik telah
didaftarkan kepada kantor Pengadilan Negeri oleh arbiter atau kuasanya (pasal
59 UU no. 30 tahun 1999) Putusan
arbitrase yang tidak dijalankan secara sukarela oleh para pihak yang
bersangkutan dapat dimintakan eksekusinya kepada ketua pengadilan negeri. Sejak
indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958 tentang Convention on the Recognition an Enforcement of Foreign Arbitral Award (ditandatangani
tanggal 10 Juni 1958 mulai berlaku tanggal 7 Juni 1959) dengan keputusan
Presiden no. 34 tahun 1981, maka putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di
dalam wilayah Indonesia , yang selanjutnya diatur dalam pasal-pasal 65 dan 66
UU No. 30 tahun 1999.
Perlawanan terhadap Sita Eksekutorial
Terhadap sita eksekutorial yang
dikenakan baik barang bergerak maupun tidak bergerak, pihak yang dikalahkan
dapat mengajukan perlawanan, ini diatur dalam pasal 207 HIR dan 225 Rbg.
Perlawanan ini dapat dilakukan dengan tertulis maupun lisan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan tidak akan menghambat dimulainya
pelaksanaan putusan, kecuali kalau Ketua Pengadilan Negeri memberi perintah
untuk menangguhkan pelaksanaan. Suatu bantahan mengenai pokok perkara yang
telah diputuskan dalam putusan hakim tidak dapat digunakan untuk melawan sita
eksekutorial.
Seseorang yang mengaku sebagai pemilik
barang yang disita secara eksekutorial dapat mengajukan perlawanan terhadap
sita eksekutorial atas barang tersebut (pasal 208 HIR, 288 Rbg). Dalam
yurisprudensi pemilikan diartikan luas , termasuk hak sende.HIR
tidak mengenal perlawanan dari pihak ketiga terhadap sita conservatoir.
Penyanderaan/ Gijzeling
Apabila barang milik debitur tidak ada
atau tidak cukup untuk melaksanakan putusan, maka atas permintaan pihak yang
menang secara tertulis maupun lisan, Ketua Pengadilan memerintahkan untuk
melaksanakan surat dari jurusita untuk melakukan sandera kepada pihak yang
berhutang. Perihal ini diatur dalam pasal 209 HIR – 242 HIR. Penyanderaan atau gijzeling tidak lain ialah memasukkan
orang yang telah dihukum oleh pengadilan untuk membayar sejumlah uang, tetapi
tidak juga memenuhi putusan tersebut dan tidak pula mempunyai barang-barang
yang tepat disita, ke dalam penjara.
Orang dapat disandera selama 3 tahun
lamanya apabila orang yang dihukum untuk membayar lebih dari Rp. 500,- terhadap
penyanderaan ini dimungkinkan mengajukan perlawanan kepada pengadilan apabila
penyanderaan tidak sah (213 HIR/ 247 Rbg). Jika permohonan penyanderaan
dikabulkan biaya pemeliharaan orang yang disandera ditanggung oleh pemohon
(pasal 216 (1) HIR , 250 Rbg) terhadap putusan hakim tentang penyanderaan dapat
dimintakan banding (pasal 218 HIR , 252 Rbg).
Paksa Badan / Liifsdwang
Diatur dalam pasal 580- 606 untuk
landrad dan pasal 585 – 611 Rv. Belanda. Debitur yang mampu tetapi tidak punya
itikad baik atau membangkang untuk melaksankan kewajiban yang termuat dalam
putusan oengadilan maka dapat dimasukkan dalam lembaga permasyarakatan atas
permintaan dan biaya pihak yang berkepentingan yang ditetapkan oleh pengadilan
untuk memaksa yang bersangkutan memnuhi kewajibannya.
Paksa badan hanya dapat dikenakan pada
debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai untang sekurang-kurangnya 1
milyar rupiah. Dengan Perma No. 1 tahun 2000 , SEMA no. 2 tahun 1964 dan no. 41
tahun 1975 dinyatakan tidak berlaku dengan alasan tidak sesuai lagi dengan
keadaan dan kebutuhan hukum sehingga perlu mencabut dan mengatur kembali. Dalam
Perma tersebut istilah gijzeling diatas
diterjemahkan menjadi paksa badan sebagaimana dalam pengertian improsinment for civil debts.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar