Selasa, 27 Mei 2014

Pelaksanaan Putusan : Eksekusi


Oleh : Ni Ageng Djohar

Pada hakikatnya, setiap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT) dapat dijalankan. Pengacualiannya ada, yaitu apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan pasal 180 HIR. Putusan yang dijalankan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Putusan deklaratoir dan constitutif tidaklah memerlukan sarana-sarana pemaksa. Karena tidak dimuat adanya hak atas suatu prestasi , maka terjadinya akibat hukum tidak tergantung pada bantuan atau kesediaan dari pihak yang dikalahkan, maka oleh karena itu tidak diperlukan sarana-sarana pemaksa untuk menjalankannya.
Putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjsde) yang dapat dieksekusi kecuali putusan serta merta. Putusan BHT yaitu :
1.      Putusan perstek yang tidak diajukan verzet
2.      Putusan PN yang tidak diajukan banding
3.      Putusan PT yang tidak diajukan kasasi
4.      Putusan kasasi
5.      Putusan perdamaian.
Cara melaksanakan putusan hakim diatur dalam pasal 195-pasal 208 HIR, dimana pasal 209- pasal 222 HIR merupakan aturan yang mengatur tentang cara pelaksanaan putusan, khususnya mengenai sandera. Akan tetapi, pasal-pasal tersebut didasarkan atas SEMA No. 2/1964 tanggal 22 Januari 1964 jo. SEMA No. 04/1975 tanggal 1 Desember 1975, dibekukan, artinya tidak diberlakukan dalam praktek. Mahakamah agung berpendapat bahwa sandera bertentangan dengan sila kemanusiaan dalam Pancasila. Maka sandera tidak dapat diberlakukan.
Putusan dilaksanakan atas pimpinan Ketuan Pengadilan Negeri, yang mula-mula memutus perkara tersebut. Pelaksanaan dimulai dengan menegur pihak yang kalah dalam 8 hari untuk melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Jika pihak ini tidak mau, maka barulah pelaksanaan sesungguhnya dimulai.
Ada tiga macam eksekusi yang dikenal pleh Hukum Acara Perdata, yaitu:
1.      Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam pasal 196 HIR dan seterusnya dimana seseorang dihukum untuk membayar sejumlah uang.
2.      Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam pasal 225 HIR dimana seseorang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan.
3.      Eksekusi Riil, yang dalam praktek banyak dilakukan akan tetapi tidak diatur dalam HIR.
Berikut akan dijelaskan satu persatu dari macam-macam eksekusi tersebut.
(1)   Eksekusi yang diatur dalam pasal 196 HIR dan seterusnya.
Apabila seseorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi isi putusan dimana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka jika sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan, maka sita jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga, secara otomatis menjadi sita eksekutorial. Selanjutnya eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang sitaan tersebut sehingga mencukupi jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan Hakim dan ditambah dengan biaya pada pelaksanaan putusan tersebut.
Jika belum pernah dilakukan sita jaminan , maka eksekusi dimulai dengan mensita barang-barang bergerak , jika belum cukup membayar semua uang yang harus dibayarkan menurut putusan Hakim, dilakukan penyitaan pada barang-barang tidak bergerak milik pihak yang kalah. Penyotaan tersebut dinamakan sita eksekutorial.
Dalam Hukum Acara Perdata terdapat dua macam sita eksekutorial, yaitu :
a.       Sita eksekutorial sebagai kelanjutan dari sita jaminan;
b.      Sita eksekutorial yang dilakukan sehubungan dengan eksekusi karena sebelumnya tidak ada sita jaminan.
Mengenai cara melakukan penjualan barang-barang yang disita, diatur dalam pasal 200 HIR, yang pada pokoknya berisi:
1)      Penjualan dilakukan dengan pertolongan Kantor Lelang;
2)      Penyimpangan terhadap azas tersebut jika pelelangan dilakukan untuk membayar sejumlah uang yang kurang dari Rp. 300,- boleh oleh juru sita saja;
3)      Urutan-urutan barang yang akan dilelang ditunjuk oleh yang terkena lelang jika ia mau;
4)      Jika jumlah yang harus dibayar menurut putusan dan biaya pelaksanaan putusan telah tercapai, maka pelelangan segera dihentikan. Barang-barang selebihnya segera dikembalikan kepada yang terkena lelang;
5)      Sebelum pelelangan, terlebih dahulu harus diumumkan menurut kebiasaan setempat dan baru dapat dilakukan 8 hari setelah pensitaan;
6)      Jika yang dilelang itu menyangkut barang tidak bergerak, maka harus diumumkan dalam dua kali dengan selang waktu 15 hari;
7)      Jika yang dilelang itu menyangkut barang tidak bergerak yang berharga lebih dari Rp. 1.000,- harus diumumkan satu kali dalam surat kabar yang terbit di kota itu paling lambat 14 hari sebelum pelelangan;
8)      Jika harga lelang telah dibayar, kepada pembeli diberikan kuitansi tanda lunas dan selain itu pula hak atas barang tidak bergerak tersebut beralih kepada pembeli;
9)      Orang yang terkena lelang dan keluarganya serta sanak saudaranya, harus menyerahkan barang tidak bergerak itu secara kosong kepada pembeli. Apabila ia enggan melakukan hal gtersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat perintah pengosongan dan pengosongan mana dilakukan dengan paksa.
Ketentuan pasal 201 – pasal 205 HIR mengatur tentang cara bagaimana pelaksanaan harus dilakukan apabila dalam waktu yang bersamaan diajukan yang untuk melaksanakan dua atau lebih terhadap orang yang sama. Dalam artian, putusanya memang harus dilaksanakan. Ini berarti bukan suatu keharusan menunggu satu pemeriksaan agar pelaksanaannya dilakukan bersama. Sehubungan dengan hal itu diperhatikan ketentuan pasal 224 HIR yang berbunyi sebagai berikut:
Surat grose daripada hipotik dan surat utang, yang dibuat di hadapan Notaris di Indonesia dan yang kepalanya memakai “Atas nama Keadilan” berkekuatan sama dengan putusan Hakim. Jika surat yang demikian itu tidak ditepati dengan jalan damai, maka perihal menjalankannya dilakukan dengan perintah dari pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, yang dalam pegangannya orang yang berhutang itu diam atau tingga; atau memilih kedudukannya, yaitu secara yang dinyatakan pada pasal di atas ini dalam bagian ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksa badan itu hanya boleh dilakukan , jika sudah diizinkan dengan putusan itu harus dijalankan sama sekali atau sebagiannya di luar daerah hukum Pengadilan Negeri, yang ketuanya menyuruh melakukan itu, maka diturutilah peraturan pada pasal 195 ayat kedua dan berikutnya.
Dari ketentuan tersebut, dikatakan bahwa surat grosse hipotik dan surat utang yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia berkekuatan seperti putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan pasti , dalam kata lain dapat langsung dimohonkan pelaksananya. Grosse adalah salinan pertama dari akta otentik, salinan pertama ini diberikan kepada debitur (aslinya ada pada kreditur). Grosse akta pengakuan utang harus fixed losayang dapat dieksekusi.
Dengan itu, dapat dilaksanakan putusan bersamaan dengan pelaksanaan putusan dengan surat-surat tersebut diatas.
Sehubungan dengan sisa hutang yang belum dibayar tersebut diatas, akan dikutip ketentuan yang mengatur perihal kedaluarsa utang-piutang dalam Stbl. No. 41, yang terdapat dalam Kitab Engelbrecht di bagian belakang BW. Bahwa dari ketentuan tersebut, diketahui bahwa utang dalam jangka waktu 30 tahun masih dapat ditagih.
(2)   Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR
Pasal 225 HIR mengatur pelaksaan putusan Hakim dimana seorang hakim untuk melakukan sesuatu perbuatan, misalnya memperbaiki pagar, saluran air, atau barang-barang yang telah dirusak olehnya. Perbuatan seperti itu tidak dapat dilaksanakan dengan paksa.
Menurut pasal 225 HIR yang dapat dilakukan adalah menilai perbuatan yang harus dilakukan oleh tergugat dalam jumlah uang. Yang menilai besarnya penggantian perbuatan ini adalah Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Maka putusan hakim yang terdahulu dianggap tidak berlaku lagi (ditarik kembali), dan diganti dengan putusan lain. perubahan putusan ini merupakan kebijakan Ketua Pengadilan Negeri yang sedang memimpin eksekusi, bukan dalam sidang terbuka.
Sementara itu agar keputusan tersebut terlaksana dengan baik , pihak yang kalah dapat dikenakan uang paksa atau dwangsom, yang memaksanya agar melaksanakan putusan.
(3)   Eksekusi Riil
Eksekusi ini tidak diatur dalam HIR, namun pasal 200 (1) menyebutkan mengenai eksekusi Riil. Pasal 200 (1) HIR itu berbunyi “Jika perlu ada pertolongan Polisi barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya, serta sanak saudaranya”. Sehingga, terdapat petunjuk bagaimana melaksanakan eksekusi riil. Pengosongan dilakukan oleh jurusita , atau anggota Polisi Militer, dalam hal apabila yang dihukum untuk mengosongkan rumah tersebut adalah anggota militer (TNI).
Eksekusi ini lazim dilakukan karena dibutuhkan, meskipun tidak diatur dalam HIR. Dalam pasal 103 Rv, yang mengatur perihal eksekusi riil, berbunyi “ Jika putusan Hakim yang memerintahkan pengosongan suatu barang yang tidak bergerak, tidak dipenuhioleh orang yang dihukum, maka Ketua akan memerintahkan dengan surat kepada seseorang jurusita supaya dengan bantuannya alat kekuasaan Negara , barang itu dikosongkan oleh orang yang dihukum serta keluarganya dan segala barang kepunyaanya.”
Yang diwajibkan mengosongkan disini adalah pihak yang kalah dan keluarganya. Apabila rumah tersebut sedang disewakan, maka tidak dapat dikosongkan. Karena ada ketentuan dalam huku perdata “Jual-beli tidak menghapuskan sewa menyewa”. Namun, apabila rumah tersebut disewakan setelah berita acara penyitaan diumumkan, maka pemilik rumah telah melanggar ketentuan dan perjanjian sewa tersebut batal demi hukum.
Eksekusi riil merupakan pelaksaan prestasi yang dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung. Dengan eksekusi riil maka yang berhaklah yang menerima prestasi. Pada umumnya eksekusi riil murni tidak mungkin. Debitur tidak
dapat dipaksa secara langsung untuk memenuhi prestasi secara pribadi (nemo praecise ad factum cogi postest).
Disamping ketiga jenis eksekusi tersebut dikenal “parate executie” atau eksekusi langsung. Parate executie terjadi apabila seorang kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial (ps. 1155, 1175 ayat 2 BW).
Putusan yang dapat dilaksanakan atau dieksekusi terbatas pada salinan putusan yang dijatuhkan di Indonesia (pasal. 435 Rv, 224 HIR, 258 Rbg.) , karena putusan hakim asing pada asasnya tidak dapat dijalankan di Indonesia (ps. 436 Rv.).
Putusan arbitrase yang dapat dijalankan adalah putusan arbitrase yang lembar asli atau salinan otentik telah didaftarkan kepada kantor Pengadilan Negeri oleh arbiter atau kuasanya (pasal 59 UU no. 30 tahun 1999)  Putusan arbitrase yang tidak dijalankan secara sukarela oleh para pihak yang bersangkutan dapat dimintakan eksekusinya kepada ketua pengadilan negeri. Sejak indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958 tentang Convention on the Recognition an Enforcement of Foreign Arbitral Award (ditandatangani tanggal 10 Juni 1958 mulai berlaku tanggal 7 Juni 1959) dengan keputusan Presiden no. 34 tahun 1981, maka putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di dalam wilayah Indonesia , yang selanjutnya diatur dalam pasal-pasal 65 dan 66 UU No. 30 tahun 1999.
*      Perlawanan terhadap Sita Eksekutorial
Terhadap sita eksekutorial yang dikenakan baik barang bergerak maupun tidak bergerak, pihak yang dikalahkan dapat mengajukan perlawanan, ini diatur dalam pasal 207 HIR dan 225 Rbg. Perlawanan ini dapat dilakukan dengan tertulis maupun lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan tidak akan menghambat dimulainya pelaksanaan putusan, kecuali kalau Ketua Pengadilan Negeri memberi perintah untuk menangguhkan pelaksanaan. Suatu bantahan mengenai pokok perkara yang telah diputuskan dalam putusan hakim tidak dapat digunakan untuk melawan sita eksekutorial.
Seseorang yang mengaku sebagai pemilik barang yang disita secara eksekutorial dapat mengajukan perlawanan terhadap sita eksekutorial atas barang tersebut (pasal 208 HIR, 288 Rbg). Dalam yurisprudensi pemilikan diartikan luas , termasuk hak sende.HIR tidak mengenal perlawanan dari pihak ketiga terhadap sita conservatoir.
*      Penyanderaan/ Gijzeling
Apabila barang milik debitur tidak ada atau tidak cukup untuk melaksanakan putusan, maka atas permintaan pihak yang menang secara tertulis maupun lisan, Ketua Pengadilan memerintahkan untuk melaksanakan surat dari jurusita untuk melakukan sandera kepada pihak yang berhutang. Perihal ini diatur dalam pasal 209 HIR – 242 HIR. Penyanderaan atau gijzeling tidak lain ialah memasukkan orang yang telah dihukum oleh pengadilan untuk membayar sejumlah uang, tetapi tidak juga memenuhi putusan tersebut dan tidak pula mempunyai barang-barang yang tepat disita, ke dalam penjara.
Orang dapat disandera selama 3 tahun lamanya apabila orang yang dihukum untuk membayar lebih dari Rp. 500,- terhadap penyanderaan ini dimungkinkan mengajukan perlawanan kepada pengadilan apabila penyanderaan tidak sah (213 HIR/ 247 Rbg). Jika permohonan penyanderaan dikabulkan biaya pemeliharaan orang yang disandera ditanggung oleh pemohon (pasal 216 (1) HIR , 250 Rbg) terhadap putusan hakim tentang penyanderaan dapat dimintakan banding (pasal 218 HIR , 252 Rbg).
*      Paksa Badan / Liifsdwang
Diatur dalam pasal 580- 606 untuk landrad dan pasal 585 – 611 Rv. Belanda. Debitur yang mampu tetapi tidak punya itikad baik atau membangkang untuk melaksankan kewajiban yang termuat dalam putusan oengadilan maka dapat dimasukkan dalam lembaga permasyarakatan atas permintaan dan biaya pihak yang berkepentingan yang ditetapkan oleh pengadilan untuk memaksa yang bersangkutan memnuhi kewajibannya.
Paksa badan hanya dapat dikenakan pada debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai untang sekurang-kurangnya 1 milyar rupiah. Dengan Perma No. 1 tahun 2000 , SEMA no. 2 tahun 1964 dan no. 41 tahun 1975 dinyatakan tidak berlaku dengan alasan tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum sehingga perlu mencabut dan mengatur kembali. Dalam Perma tersebut istilah gijzeling diatas diterjemahkan menjadi paksa badan sebagaimana dalam pengertian improsinment for civil debts.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar