Jumat, 23 Mei 2014

Amandemen UUD 1945, mengikis kedudukan Presiden ?

Oleh : Ni Ageng Djohar

Indonesia yang menegaskan dirinya sebagai negara yang bersistem presidensil, berarti memiliki Presiden yang berkapasitas ganda yaitu sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sebelum amandemen, UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial, ini dapat terlihat pada pasal 4 ayat (1) dan 17 UUD 1945, dimana Presiden menjadi kepala eksekutif mengangkat serta memberhentikan para menteri yang bertanggungjawab kepadanya. Presiden juga selain menjadi Kepala Negara juga Kepala pemerintahan. Namun pada saat itu MPR berstatus sebagai lembaga negara tertinggi yaitu tempat dimana Presiden tunduk dan bertanggungjawab. Namun setelah perubahan UUD 1945, sistem pemerintahan Presidensil di Indonesia ini semakin dipertegas, terlihat bahwa Presiden tidak lagi bertanggungjawab pada parlemen dalam hal ini MPR, serta Presiden dan Wakil Presiden kini dipilih oleh Rakyat Indonesia secara langsung oleh pemilu. Perubahan UUD 1945 juga membawa dampak besar terhadap kewenangan-kewenangan Presiden. Yang terpenting dalam hal ini adalah apa yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) yaitu yang berbunyi, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut undang-undang dasar”.
Beberapa perubahan yang terjadi dalam UUD 1945 berimplikasi cukup besar dalam ranah Presiden. UUD 1945 setelah amandemen mengubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi lebih jelas, dan mempengaruhi kedudukan Presiden, dalam hal ini sebagai kepala pemerintahan. Meskipun telah dijelaskan yang terpenting adalah pada pasal 4 karena pada pasal tersebut tidak terjadi perubahan, sehingga kedudukan presiden sebagai kepala pemerintah memang sudah ada sejak dahulu. Kedudukan Presiden ini pun mengalami perkuatan setelah perubahan UUD 1945, dengan berubahnya sistem presidensil yang tidak jelas pada masa itu menjadi sistem presidensil murni. Berikut pasal-pasal yang menujukan adanya perubahan tersebut :
·         Presiden melaksanakan garis-garis besar haluan negara yang dibuat oleh MPR. Dalam penjelasan UUD 1945 menerangkan bahwa Presiden merupakan ‘mandataris” MPR, sehingga kedudukan Presiden dapat dikatakan dibawah MPR karena Presiden tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Namun setelah amandemen, Presiden, bertanggungjawab langsung kepada rakyat karena MPR tidak lagi sebagai yang memegang kekuasaan tertinggi (lembaga tertinggi negara). GBHN sebagai acuan kerja pemerinta tidak diperlukan lagi, keran haluan kerja pemerintahan justru ditetapkan sendiri oleh presiden yang berhasil memenangkan pemilu. Didalam Undang-Undang Dasar 1945 di jelaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan program kerja yang telah disampaikan kepada rakyat. Dengan demikian seorang Presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat atas tugas dan kewajibannya. Oleh karenanya rakyat dapat secara langsung menilai berhasil atau tidakkah seorang Presiden berdasarkan hasil kerjanya.
·         Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen, berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak.”namun setelah amandemen ketentuan ini diubah pada pasal 6A ayat (1) yaitu “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”
Selain sistem pemerintahan yang ikut mengubah kewenangan Presiden, ‘terlalu’ besarnya kekuasaan Presiden pada masa itu, mempengaruhi perubahan kewenangan Presiden yang diatur dalam UUD 1945. Struktur UUD 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang sangat besar terhadap Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Karena itu, sering muncul anggapan bahwa UUD 1945 sangat executive heavy. Presiden tidak hanya sebagai pemegang dan menjalankan kekuasaan pemerintahan (chief executive), ), tetapi juga menjalankan kekuasaan untuk membentuk undang-undang, disamping hak konstitusional khusus (lazim disebut hak prerogatif) memberi grasi,amnesti, abolisi, dan lain-lain. Maka, pada perubahan UUD 1945 selain mengubah beberapa wewenang kewajiban Presiden kearah menguatkan, juga memangkas beberapa kewenangan Presiden yang dianggap sebagai kewenangan yang ‘terlalu’ kuat.
Dapat dilihat pada pasal 5  ayat (1) sebelum amandemen yang berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” dalam pasal tersebut memperlihatkan bahwa Presiden memegang kekuasaan legislatif karena memegang kekuasaan membentuk undang-undang, namun setelah amandemen pasal 5 ini berubah menjadi ayat (1) “Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dalam perubahan ini, Presiden dititikberatkan bukan lagi yang memegang kekuasaan membentuk UU melainkan hanya diberi hak mengajukan rancangan UU kepada DPR.
Perubahan lain, dapat dilihat pada pasal 7 sebelum amandemen yang berbunyi, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.” Sebelum amandemen, tidak dijelaskan berapa kali seorang Presiden itu dapat dipilih kembali, sehingga pasal ini dahulu dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan Presiden. Dalam faktanya dapat dilihat pada jaman Presiden Soeharto yang memimpin Indonesia hingga 32 tahun, karena beliau terus-menerus dipilih kembali. Setelah amandemen pasal ini diubah sebagai bentuk pembatasan atas kekuasaan Presiden, berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Sehingga terlihat kekuasaan Presiden dibatasi dengan adanya ketentuan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Lalu, pasal-pasal yang menyangkut kedudukan Presiden sebagai kepala Negara, diatur dalam pasal 10,11,12,13,14,15, dan 16 UUD 1945. Pasal-pasal tersebut mengandung wewenang presiden sebagai berikut :
·         Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas  Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10).
·         Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain [Pasal 11 ayat (1)].
·         Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR. [Pasal 11 ayat (2)].
·         Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. [Pasal 11 ayat (3)].
·         Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. (Pasal 12).
·         Presiden mengangkat duta dan konsul. [Pasal 13 ayat (1)]. Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR. [Pasal 13 ayat (2)]. Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR. [Pasal 13 ayat (3)]. Sebelum amandemen, wewenang Presiden sebagai kepala negara ini, tidak ada campur tangan DPR, sehingga Presiden sendirilah yang dapat mengeluarkan kewenangan ini. Sebelum amandemen bunyi pasal 13 adalah ayat (1) “Presiden mengangkat Duta dan Konsul.” Ayat (2) “Presiden menerima Duta negara lain”.
·         Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. [Pasal 14 ayat (1)]. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. [Pasal 14 ayat (2)].  Pasal ini pun berubah, sebelum amandemen berbunyi “Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.” Sebelum amandemen UUD 1945 tidak menyatakan Presiden harus memperhatikan pertimbangan MA maupun DPR, karena menganggap Presiden memang berhak mengambil keputusan ini sendiri didalam kapasitasnya sebagai kepala Negara
·         Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lain-laintanda kehormatan yang diatur dengan UU. (Pasal 15).
·         Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam UU. (Pasal 16).
Dalam beberapa pasal perubahan tersebut terlihat seolah DPR muncul mencampuri kewenangan Presiden. Hal ini merupakan batasan Presiden menjalankan kewenanganya. Mengenai kedudukan Presiden, dapat dilihat dari kapastitasnya yang ganda sebagai kepala negara juga kepala pemerintahan. Terkait dengan kapastitasnya sebagai kepala negara, Presiden mengalami pelemahan kedudukan karena kewenanganya ada beberapa yang harus ada campur tangan dari DPR dan sebagian dari MA. Namun dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan, Presiden justru mengalami penguatan kedudukan karena turunya (downgrade) MPR yang semula sebagai lembaga tertinggi negara kini menjadi sejajar mengubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi sistem presidensiil murni, dimana Presiden dengan ini tidak lagi diangkat oleh MPR dan tidak lagi tunduk dan bertanggungjawab terhadap MPR.

Daftar Pustaka
(dirahasiakan (: )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar