Oleh : Ni Ageng Djohar
Indonesia yang menegaskan dirinya sebagai negara
yang bersistem presidensil, berarti memiliki Presiden yang berkapasitas ganda
yaitu sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sebelum amandemen,
UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial, ini dapat terlihat pada
pasal 4 ayat (1) dan 17 UUD 1945, dimana Presiden menjadi kepala eksekutif
mengangkat serta memberhentikan para menteri yang bertanggungjawab kepadanya. Presiden juga selain menjadi Kepala Negara juga Kepala pemerintahan. Namun pada
saat itu MPR berstatus sebagai lembaga negara tertinggi yaitu tempat dimana
Presiden tunduk dan bertanggungjawab. Namun
setelah perubahan UUD 1945, sistem pemerintahan Presidensil di Indonesia ini
semakin dipertegas, terlihat bahwa Presiden tidak lagi bertanggungjawab pada
parlemen dalam hal ini MPR, serta Presiden dan Wakil Presiden kini dipilih oleh
Rakyat Indonesia secara langsung oleh pemilu. Perubahan UUD 1945 juga membawa
dampak besar terhadap kewenangan-kewenangan Presiden. Yang terpenting dalam hal
ini adalah apa yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) yaitu yang berbunyi,
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut
undang-undang dasar”.
Beberapa perubahan yang terjadi dalam UUD 1945
berimplikasi cukup besar dalam ranah Presiden. UUD 1945 setelah amandemen
mengubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi lebih jelas, dan mempengaruhi
kedudukan Presiden, dalam hal ini sebagai kepala pemerintahan. Meskipun telah
dijelaskan yang terpenting adalah pada pasal 4 karena pada pasal tersebut tidak
terjadi perubahan, sehingga kedudukan presiden sebagai kepala pemerintah memang
sudah ada sejak dahulu. Kedudukan Presiden ini pun mengalami perkuatan setelah
perubahan UUD 1945, dengan berubahnya sistem presidensil yang tidak jelas pada
masa itu menjadi sistem presidensil murni. Berikut pasal-pasal yang menujukan
adanya perubahan tersebut :
·
Presiden melaksanakan
garis-garis besar haluan negara yang dibuat oleh MPR. Dalam penjelasan UUD 1945
menerangkan bahwa Presiden merupakan ‘mandataris” MPR, sehingga kedudukan
Presiden dapat dikatakan dibawah MPR karena Presiden tunduk dan
bertanggungjawab kepada MPR. Namun setelah amandemen, Presiden,
bertanggungjawab langsung kepada rakyat karena MPR tidak lagi sebagai yang
memegang kekuasaan tertinggi (lembaga tertinggi negara). GBHN sebagai acuan
kerja pemerinta tidak diperlukan lagi, keran haluan kerja pemerintahan justru
ditetapkan sendiri oleh presiden yang berhasil memenangkan pemilu. Didalam
Undang-Undang Dasar 1945 di jelaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden
melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan program kerja yang telah
disampaikan kepada rakyat. Dengan demikian seorang Presiden bertanggung jawab
langsung kepada rakyat atas tugas dan kewajibannya. Oleh karenanya rakyat dapat
secara langsung menilai berhasil atau tidakkah seorang Presiden berdasarkan
hasil kerjanya.
·
Pasal 6 ayat (2) UUD
1945 sebelum amandemen, berbunyi “Presiden
dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara
yang terbanyak.”namun setelah amandemen ketentuan ini diubah pada pasal 6A
ayat (1) yaitu “Presiden dan Wakil
Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”
Selain sistem pemerintahan yang ikut mengubah
kewenangan Presiden, ‘terlalu’ besarnya kekuasaan Presiden pada masa itu,
mempengaruhi perubahan kewenangan Presiden yang diatur dalam UUD 1945. Struktur
UUD 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang sangat besar terhadap
Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Karena itu, sering muncul
anggapan bahwa UUD 1945 sangat
executive heavy.
Presiden tidak hanya sebagai pemegang dan menjalankan kekuasaan pemerintahan (chief executive), ), tetapi juga
menjalankan kekuasaan untuk membentuk undang-undang, disamping hak
konstitusional khusus (lazim disebut hak prerogatif) memberi grasi,amnesti,
abolisi, dan lain-lain. Maka,
pada perubahan UUD 1945 selain mengubah beberapa wewenang kewajiban Presiden
kearah menguatkan, juga memangkas beberapa kewenangan Presiden yang dianggap
sebagai kewenangan yang ‘terlalu’ kuat.
Dapat dilihat pada pasal 5 ayat (1) sebelum amandemen yang berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” dalam pasal
tersebut memperlihatkan bahwa Presiden memegang kekuasaan legislatif karena
memegang kekuasaan membentuk undang-undang, namun setelah amandemen pasal 5 ini
berubah menjadi ayat (1) “Presiden berhak
mengajukan rancangan Undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dalam
perubahan ini, Presiden dititikberatkan bukan lagi yang memegang kekuasaan
membentuk UU melainkan hanya diberi hak mengajukan rancangan UU kepada DPR.
Perubahan lain, dapat dilihat pada pasal 7 sebelum
amandemen yang berbunyi, “Presiden dan
Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali.” Sebelum amandemen, tidak dijelaskan berapa kali seorang
Presiden itu dapat dipilih kembali, sehingga pasal ini dahulu dijadikan alat
untuk melanggengkan kekuasaan Presiden. Dalam faktanya dapat dilihat pada jaman
Presiden Soeharto yang memimpin Indonesia hingga 32 tahun, karena beliau
terus-menerus dipilih kembali. Setelah amandemen pasal ini diubah sebagai
bentuk pembatasan atas kekuasaan Presiden, berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali
masa jabatan.” Sehingga terlihat kekuasaan Presiden dibatasi dengan adanya
ketentuan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Lalu, pasal-pasal yang menyangkut kedudukan Presiden
sebagai kepala Negara, diatur dalam pasal 10,11,12,13,14,15, dan 16 UUD 1945.
Pasal-pasal tersebut mengandung wewenang presiden sebagai berikut :
·
Presiden
memegang kekuasaan yang tertinggi atas
Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10).
·
Presiden
dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian
dengan negara lain [Pasal 11 ayat (1)].
·
Presiden
dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan DPR. [Pasal 11 ayat (2)].
·
Ketentuan
lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
[Pasal 11 ayat (3)].
·
Presiden
menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang-undang. (Pasal 12).
·
Presiden
mengangkat duta dan konsul. [Pasal 13 ayat (1)]. Dalam hal mengangkat duta,
Presiden memperhatikan pertimbangan DPR. [Pasal 13 ayat (2)]. Presiden menerima
penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR. [Pasal 13
ayat (3)]. Sebelum amandemen, wewenang
Presiden sebagai kepala negara ini, tidak ada campur tangan DPR, sehingga
Presiden sendirilah yang dapat mengeluarkan kewenangan ini. Sebelum amandemen
bunyi pasal 13 adalah ayat (1) “Presiden mengangkat Duta dan Konsul.” Ayat (2)
“Presiden menerima Duta negara lain”.
·
Presiden
memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
[Pasal 14 ayat (1)]. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan DPR. [Pasal 14 ayat (2)].
Pasal ini pun berubah, sebelum amandemen berbunyi “Presiden memberi
grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.” Sebelum
amandemen UUD 1945 tidak menyatakan Presiden harus memperhatikan pertimbangan
MA maupun DPR, karena menganggap Presiden memang berhak mengambil keputusan ini
sendiri didalam kapasitasnya sebagai kepala Negara
·
Presiden
memberi gelaran, tanda jasa dan lain-laintanda kehormatan yang diatur dengan
UU. (Pasal 15).
·
Presiden
membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan
pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam UU. (Pasal 16).
Dalam beberapa pasal
perubahan tersebut terlihat seolah DPR muncul mencampuri kewenangan Presiden.
Hal ini merupakan batasan Presiden menjalankan kewenanganya. Mengenai kedudukan
Presiden, dapat dilihat dari kapastitasnya yang ganda sebagai kepala negara
juga kepala pemerintahan. Terkait dengan kapastitasnya sebagai kepala negara,
Presiden mengalami pelemahan kedudukan karena kewenanganya ada beberapa yang
harus ada campur tangan dari DPR dan sebagian dari MA. Namun dalam kapasitasnya
sebagai kepala pemerintahan, Presiden justru mengalami penguatan kedudukan karena
turunya (downgrade) MPR yang semula sebagai lembaga tertinggi negara kini
menjadi sejajar mengubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi sistem
presidensiil murni, dimana Presiden dengan ini tidak lagi diangkat oleh MPR dan
tidak lagi tunduk dan bertanggungjawab terhadap MPR.
Daftar Pustaka
(dirahasiakan (: )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar