Oleh : Ni Ageng Djohar
Hukum
pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang sangat penting.
Seperti kita pahami, bahwa Hukum acara atau hukum formal hendaknya
mempertahankan dan memelihara hukum material.
Dalam
proses perdata, salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah suatu hubungan
hukum yang menjad dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum
inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam
suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan
dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, gugatannya akan dikabulkan. Tidak
semua dalil harus dibuktikan, apabila suatu dalil telah diakui oleh pihak lawan
maka tidak perlu ada pembuktian lagi.
Secara
material, hukum pembuktian itu mengatur dapat atau tidaknya diterima pembuktian
dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari
alat-alat bukti tersebut.
Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa membuktikan adalah memberikan dasar-dasar
yang cukup kepada Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara agar dapat memberikan
kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Jadi pembuktian secara yuridis, mengajukan fakta-fakta menurut hukum yang cukup
untuk memberikan kepastian kepada Hakim tentang suatu peristiwa atau hubungan hukum. Bahwa soal membuktikan suatu peristiwa, mengenai adanya hubungan hukum, adalah
suatu cara untuk meyakinkan hakim akan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan,
atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyangkal tentang kebenaran
dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.
Berbeda
dengan asas hukum pidana, bahwa seseorang melakukan tindak pidana, dapat
dihukum ditentukan oleh keyakinan Hakim, dalam hukum perdata tidak perlu adanya
keyakinan Hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan
berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang
menang dan siapa yang kalah. Dengan demikian, hukum acara perdata , cukup
dengan kebenaran formil saja.
Bukan
hanya hal-hal yang telah diakui lawan saja yang tidak perlu dibuktikan, namun
terdapat satu hal lagi yang tidak perlu dibuktikan , ialah berupa hal-hal atau
keadaan –keadaan yang telah diketahui khalayak ramai, atau sudah merupakan
pengetahuan umum, dalam hukum perdata hal tersebut dinamakan fakta notoir. Fakta notoir merupakan hal
atau keadaan yang sudah diketahui pula sendiri oleh Hakim. Menurut Prof. Mr. A. Pito , “notoire
feiten” itu adalah peristiwa-peristiwa yang secara kebetulan diketahui oleh
Hakim yang bersangkutan, atau ia menyaksikannya ketika terjadi atau hakim yang
bersangkutan mempunyai keahlian perihal
suatu kejadian/keadaan.
Dalam
pasal 163 HIR/ pasal 283 Rbg menyatakan :
Barang siapa yang mempunyai sesuatu hak atau
mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah
hak orang lain haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya perbuatan itu.
Ini dikenal dengan asas actori incumbit
probitio.
Asas
tersebut mengandung arti “siapa yang mendalilkan dia yang membuktikan”. Dalam
teori terlihat mudah. Sesungguhnya dalam praktek merupakan hal yang sulit untuk
menentukan secara tepat, siapa yang harus dibebani kewajiban untuk membuktikan
sesuatu. Selain itu Pengadilan Negeri berwenang membebankan kepada para pihak untuk
mengajukan suatu pembuktian dengan cara yang seadil-adilnya. Pengadilan Negeri
memberikan bimbingan dalam hal mengajukan pembuktian, sehingga pembuktian itu
dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Majelis hakim pun dalam hal pembuktian
harus arif dan bijaksana.
Seperti
yang telah dikemukakan, beban pembuktian harus diberikan secara adil. Apabila
tidak dapat dianggap pelanggaran hukum yang dapat memaksa Mahkamah Agung
membatalkan putusan judex facti.
Salah satu teori beban pembuktian yakni process
rechtelijk menentukan bahwa:
a) Mereka yang berpekara mempunyai kedudukan yang sama
b) Mereka harus diperlakukan leh Hakim dengan cara yang
sama tidak boleh berbeda
c) Kemungkinan menang untuk pihak-pihak yang berpekara
sama besar.
Dalam
hal-hal tertentu, undang-undang telah menetapkan di pundak siapa beban
pembuktian diletakkan, misalnya :
o Pasal 533 KUHPerdata menyatakan bahwa orang yang
menguasai barang atau pemegang kedudukan dengan itikad baik, tidak perlu
membuktikan itikad baiknya itu. Siapa yang menyatakan adanya itikad buruk,
harus membuktikan pernyataan tersebut.
o Pasal 535 KUHPerdata, seseorang yang telah mulai
memegang sesuatu kedudukan untuk orang lain , akan selalu dianggap meneruskan
kedudukan itu selama tidak terbukti sebaliknya.
o Pasal 1244 KUHPerdata, kreditur dibebaskan diri
kewajiban membuktikan kesalahan pihak debitur dalam hal adanya wanprestasi.
o Pasal 1394 KUHPerdata, pemegang kwitansi atau tanda
pembayaran terakhir 3 kali berturut-turut dibebaskan dari pembuktian lebih
lanjut mengenai pembayaran.
o
Pasal 1356
KUHPerdata, dalam hal perbuatan melawan hukum, pihak yang menuntut ganti rugi
harus membuktikan adanya kesalahan yang terjadi.
Dalam ilmu pengetahuan kita mengenal
beberapa teori tentang beban pembuktian, yang dapat menjadi pedoman hakim :
1.
Teori Hukum
Subyektif (teori hak)
Teori ini menetapkan bahwa
barang siapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan
harus membuktikannya.
2.
Teori Hukum
Obyektif
Teori ini mengajarkan
bahwa seseorang Hakim harus melaksanakan peraturan hukum atas fakta-fakta untuk
menemukan kebenaran peristiwa yang di ajukan kepadanya.
3.
Teori Hukum
Acara dan Teori Kelayakan
Kedua teori ini
bermuara pada hasil yang sama yakin Hakim seyogianya berdasarkan kepatutan
membagi beban pembuktian
Disini hakim harus
membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan dari para pihak.
Dengan demikian hakim
harus meberi beban kepada kedua belah pihak secara seimbang dan adil.
Sedangkan mengenai keterkaitan hakim terhadap alat
bukti, di jelaskan oleh teori :
1.
Teori Pembuktian
Bebas
Disini, pembuktian
sejauh mungkin diserahkan kepada hakim. Karena itu, teori ini tidak
menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim.
2.
Teori Pembuktian
Negatif
Teori mengingatkan
adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif. Ketentuan
tersebut membatasi hakim dangan larangan untuk melakukan suatu yang berhubungna
dengan pembuktian. Jadi hakim dilarang dengan oengecualian :
Contoh : Pasal 169 HIR
/ 306 Rbg.
Keterangan seorang
saksi saja dangan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat di percaya dalam
hukum.
3.
Teori pembuktian
positif
Menurut teori ini
selain larangan terhadap hakim, perlu di beri perintah. Disini hukum di
wajibkan tetapi dengan syarat.
Pasal 165 HIR / 285 Rbg
menyatakan :
Akta otentik, suatu
surat yang dibuat menurut undang-undang
oleh atau di hadapan Pejabat umum
yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberi bukti yang cukup bagi kedua
belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya
tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu dan dan juga tentang yang tercantum
dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja.