Kamis, 17 Juli 2014

Hukum Pembuktian

Oleh : Ni Ageng Djohar


Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang sangat penting. Seperti kita pahami, bahwa Hukum acara atau hukum formal hendaknya mempertahankan dan memelihara hukum material.
Dalam proses perdata, salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjad dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, gugatannya akan dikabulkan. Tidak semua dalil harus dibuktikan, apabila suatu dalil telah diakui oleh pihak lawan maka tidak perlu ada pembuktian lagi.
Secara material, hukum pembuktian itu mengatur dapat atau tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa membuktikan adalah memberikan dasar-dasar yang cukup kepada Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara agar dapat memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Jadi pembuktian secara yuridis, mengajukan fakta-fakta menurut hukum yang cukup untuk memberikan kepastian kepada Hakim tentang suatu peristiwa atau hubungan hukum. Bahwa soal membuktikan suatu peristiwa, mengenai adanya hubungan hukum, adalah suatu cara untuk meyakinkan hakim akan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan, atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyangkal tentang kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.
Berbeda dengan asas hukum pidana, bahwa seseorang melakukan tindak pidana, dapat dihukum ditentukan oleh keyakinan Hakim, dalam hukum perdata tidak perlu adanya keyakinan Hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan demikian, hukum acara perdata , cukup dengan kebenaran formil saja.
Bukan hanya hal-hal yang telah diakui lawan saja yang tidak perlu dibuktikan, namun terdapat satu hal lagi yang tidak perlu dibuktikan , ialah berupa hal-hal atau keadaan –keadaan yang telah diketahui khalayak ramai, atau sudah merupakan pengetahuan umum, dalam hukum perdata hal tersebut dinamakan fakta notoir. Fakta notoir merupakan hal atau keadaan yang sudah diketahui pula sendiri oleh Hakim. Menurut Prof. Mr. A. Pito , “notoire feiten” itu adalah peristiwa-peristiwa yang secara kebetulan diketahui oleh Hakim yang bersangkutan, atau ia menyaksikannya ketika terjadi atau hakim yang bersangkutan mempunyai keahlian perihal  suatu kejadian/keadaan.

Dalam pasal 163 HIR/ pasal 283 Rbg menyatakan :
Barang siapa yang mempunyai sesuatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya perbuatan itu. Ini dikenal dengan asas actori incumbit probitio.
Asas tersebut mengandung arti “siapa yang mendalilkan dia yang membuktikan”. Dalam teori terlihat mudah. Sesungguhnya dalam praktek merupakan hal yang sulit untuk menentukan secara tepat, siapa yang harus dibebani kewajiban untuk membuktikan sesuatu. Selain itu Pengadilan Negeri berwenang membebankan kepada para pihak untuk mengajukan suatu pembuktian dengan cara yang seadil-adilnya. Pengadilan Negeri memberikan bimbingan dalam hal mengajukan pembuktian, sehingga pembuktian itu dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Majelis hakim pun dalam hal pembuktian harus arif dan bijaksana.
Seperti yang telah dikemukakan, beban pembuktian harus diberikan secara adil. Apabila tidak dapat dianggap pelanggaran hukum yang dapat memaksa Mahkamah Agung membatalkan putusan judex facti. Salah satu teori beban pembuktian yakni process rechtelijk  menentukan bahwa:
a)      Mereka yang berpekara mempunyai kedudukan yang sama
b)      Mereka harus diperlakukan leh Hakim dengan cara yang sama tidak boleh berbeda
c)      Kemungkinan menang untuk pihak-pihak yang berpekara sama besar.
Dalam hal-hal tertentu, undang-undang telah menetapkan di pundak siapa beban pembuktian diletakkan, misalnya :
o   Pasal 533 KUHPerdata menyatakan bahwa orang yang menguasai barang atau pemegang kedudukan dengan itikad baik, tidak perlu membuktikan itikad baiknya itu. Siapa yang menyatakan adanya itikad buruk, harus membuktikan pernyataan tersebut.
o   Pasal 535 KUHPerdata, seseorang yang telah mulai memegang sesuatu kedudukan untuk orang lain , akan selalu dianggap meneruskan kedudukan itu selama tidak terbukti sebaliknya.
o   Pasal 1244 KUHPerdata, kreditur dibebaskan diri kewajiban membuktikan kesalahan pihak debitur dalam hal adanya wanprestasi.
o   Pasal 1394 KUHPerdata, pemegang kwitansi atau tanda pembayaran terakhir 3 kali berturut-turut dibebaskan dari pembuktian lebih lanjut mengenai pembayaran.
o   Pasal 1356 KUHPerdata, dalam hal perbuatan melawan hukum, pihak yang menuntut ganti rugi harus membuktikan adanya kesalahan yang terjadi.

Dalam ilmu pengetahuan kita mengenal beberapa teori tentang beban pembuktian, yang dapat menjadi pedoman hakim  :
1.      Teori Hukum Subyektif (teori hak)
Teori ini menetapkan bahwa barang siapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya.
2.      Teori Hukum Obyektif
Teori ini mengajarkan bahwa seseorang Hakim harus melaksanakan peraturan hukum atas fakta-fakta untuk menemukan kebenaran peristiwa yang di ajukan kepadanya.
3.      Teori Hukum Acara dan Teori Kelayakan
Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama yakin Hakim seyogianya berdasarkan kepatutan membagi beban  pembuktian
Disini hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan dari para pihak.
Dengan demikian hakim harus meberi beban kepada kedua belah pihak secara seimbang dan adil.
Sedangkan mengenai keterkaitan hakim terhadap alat bukti, di jelaskan oleh teori :
1.      Teori Pembuktian Bebas
Disini, pembuktian sejauh mungkin diserahkan kepada hakim. Karena itu, teori ini tidak menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim.
2.      Teori Pembuktian Negatif
Teori mengingatkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif. Ketentuan tersebut membatasi hakim dangan larangan untuk melakukan suatu yang berhubungna dengan pembuktian. Jadi hakim dilarang dengan oengecualian :
Contoh : Pasal 169 HIR / 306 Rbg.
Keterangan seorang saksi saja dangan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat di percaya dalam hukum.
3.      Teori pembuktian positif
Menurut teori ini selain larangan terhadap hakim, perlu di beri perintah. Disini hukum di wajibkan tetapi dengan syarat.
Pasal 165 HIR / 285 Rbg menyatakan :
Akta otentik, suatu surat yang dibuat menurut undang-undang  oleh atau di hadapan  Pejabat umum yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu dan dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja.